Friday, June 19, 2020

Lagom


Negara Swedia, negara yg secara konsisten berada di 10 besar dengan indeks kualitas hidup tertinggi, ternyata memiliki satu nilai akulturasi yg sangat kuat sejak zaman era kaum viking hingga sekarang. Lagom, dibaca Laaaw-Gem, sebuah kata yg menjadi akar kultural masyarakat Swedia ini memiliki daya hipnosis yg sangat kuat dlm menanamkan nilai aturan perilaku di masyarakat. 
Bagaimana tidak, mulai dari penerapan Lagom sbg kata keterangan, kata sifat, sbg definisi yg tak terdefinisikan, hingga pengubah bentuk yg bs dipakai dlm beragam situasi. Yg pada akhirnya, semua tatanan kehidupan di berbagai lini menggunakan dan menerapkan Lagom sbg batasan kultural dlm bergaul, bahkan bernegara.
Jika hanya dijelaskan pengertian, Lagom akan mencakup banyak hal dan sangat luas. Makanya, Lagom bs dgn spesifik disebutkan sbg nilai akulturasi masyarakat yg diimplementasikan dlm kehidupan sehari-hari. 
Lagom menyerupai tenggang rasa, tepo seliro, sadar diri, cukup dan pas dgn apa yg ada, praktis, dan msh banyak arti sepadan lainnya. Bs jd inilah alasan mengapa IKEA populer d banyak negara. Sistem kepraktisan dan konsep minimalis dgn penataan bertingkat menjadi hal yg disenangi banyak org. Konsep tersebut sejalan dgn Lagom dlm kesederhanaan. 
Dalam istilah Lagom, pengendalian terhadap diri sendiri baik mandiri maupun kelompok sdh menjadi pakem yg tdk bs ditawar2. Tetapi dalam kelompok masyarakat Indonesia, pengendalian diri di kembalikan kepada pemahaman terhadap diri sendiri yg ditopang dengan pemahaman agamanya. Masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai filter untuk menghadang stereotip negatif dan perilaku buruk di masyarakat. Bukan sbg bagian dr privasi.
Jika berkaca dr historis perkembangan Lagom, pembentukan budaya dimulai dari beberapa kelompok kecil yg melakukan sebuah doktrinasi tata aturan baku sbg pedoman tak terucap dlm menjalani hidup sebaik mungkin. Mungkin kita pun bs melakukan hal serupa dlm kelompok kecil dan berharap muncul kelompok2 kecil lainnya hingga menjadi kelompok besar yg nyaman dan ideal. 
Menarik sekali utk dikaji. Kl di Indonesia br didengungkan tentang revolusi mental, di Swedia penanaman budaya yg sudah mengakar dilakukan sejak abad ke-8. 
Di Indonesia, kita mengenal budaya animisme dan dinamisme di masyarakat. Kemudian muncul istilah-istilah 'pamali' dlm bhs Sunda atau bentuk kepercayaan lainnya. Dan sampai saat ini, kepercayaan itu di beberapa kelompok masyarakat msh cukup kuat dan diyakini kebenarannya.
Benar2 menarik. Kalo penasaran, silahkan dibaca bukunya. Akan kamu temukan kondisi masyarakat yg 360 derajat dr yg kita temui disini. Dan kita bs belajar dr sana dan berharap kultur masyarakat jg bs berubah. 
Kalo saya sih, jd inget Lund. Sayang, waktu transit di Arlanda cuma sebentar. Kalo ngga, bs sampe Stockholm.

Kembali ke Titik 0

Siang ini, saya membaca tulisan seorang guru (anggap saja begitu). Meskipun tidak pernah bertegur sapa dan beliau hanya mengenal saya sekali...