Malam
ini, malam jumat tanggal 16 oktober, saya tersentuh dengan beberapa kejadian di
depan mata saya. Sampai-sampai saya tidak sanggup menengadah melihatnya
secara langsung. Alloh kembali mengingatkan saya akan arti sebuah
keluarga. Ketika saya makan untuk berbuka puasa pukul 8 malam di RM.
Laksana cimahi, saya diapit oleh satu keluarga yang terdiri dari tiga orang (anak kecil lelaki, lelaki
dewasa, dan seorang ibu paruh baya-saya rasa beliau adalah ibu lelaki
itu), dan dua orang pasutri. Saya mendengar lelaki dewasa yang bersama
ibunya terus menerus menawari makanan sembari sekali-kali berkelakar
"kenapa ibu makan sama ayam lagi ayam lagi". Ibunya cuma bilang "biarin
aja atuh". Lelaki dewasa itu terus
menawarkan beragam makanan dan minuman. Sempat si ibu bertanya, "apa
itu?" Sambil menunjuk minuman lelaki itu. "Jus alpukat bu, ibu mau? Biar
dipesankan" Si ibu hanya bilang "ngga ah". Tidak tahu
memang benar-benar tidak mau atau segan meminta. Satu hal yang saya
tangkap dari lelaki dewasa itu adalah tentang perhatian. Bukan masalah makanan dan minuman, si ibu hanya perlu perhatian meskipun hanya sebatas
tawaran-tawaran kecil. Dari cara si ibu bertanya dan
berbicara, saya bisa memastikan kalau si ibu merasa senang diajak makan dan tawaran-tawaran
sederhana itu menjadi pelengkap perhatian anaknya terhadapnya.
Beda lagi dengan dua orang pasutri disebelah kiri saya. Mereka makan hampir tanpa bersuara. Suaminya bersikap lembut terhadap istrinya. Dia menawarkan makanan dengan suara dan bahasa yang halus. Meskipun hanya sesekali bersuara, tapi dengan perkataan halus tampaknya mereka pasangan yang kompak. Jika satu berbicara, yang satu nya lagi menimpali dengan sedikit candaan. Mereka tertawa renyah berdua tanpa terdengar apa yang mereka bicarakan. Itu seperti tamparan kedua buat saya.
Beda lagi dengan dua orang pasutri disebelah kiri saya. Mereka makan hampir tanpa bersuara. Suaminya bersikap lembut terhadap istrinya. Dia menawarkan makanan dengan suara dan bahasa yang halus. Meskipun hanya sesekali bersuara, tapi dengan perkataan halus tampaknya mereka pasangan yang kompak. Jika satu berbicara, yang satu nya lagi menimpali dengan sedikit candaan. Mereka tertawa renyah berdua tanpa terdengar apa yang mereka bicarakan. Itu seperti tamparan kedua buat saya.
Lain lagi cerita ketiga. Ini
tentang ibu dan dua orang anaknya yang masih balita. Dari pakaian,
penampilan, dan cara mereka bicara, kemungkinan mereka adalah pengemis.
Satu anak digendong, diperkirakan usianya kurang lebih setahunan, satu
lagi sudah agak besar mungkin dua tahunan lebih. Si anak tidak berhenti
mengoceh dan si ibu hanya memperingatkan sesekali. Tapi dari beberapa
kalimatnya terdengar kata-kata kasar dari mulut ibunya. dan si ibu
sempat bertanya "tadi diapain sama nenek, kenapa menangis?" tidak
dijawab oleh anaknya. terbayang banyak hal mendengar percakapan itu karena kekerasan dan penganiayaan
pada anak sudah marak terjadi belakang ini. Semoga anak-anak itu bisa bahagia dan
tidak mengalami hal-hal seperti yang ada dalam berita-berita.
Coba hubungkan benang merah diantara cerita-cerita tadi. Bukankan ada hubungan klausal diantara ketiganya? Sama seperti status saya, sebagai seorang anak, ibu, dan istri. Melihat bagaimana anaknya memperlakukan ibunya, bagaimana suami menghargai istrinya, Bagaimana seorang ibu yang berusaha melindungi anak-anaknya. Bukankah itu semua juga kewajiban saya? Bukankan saya juga mempunyai tanggung jawab yang sama? Berbakti kepada orang tua, melayani suami, dan mendidik anak-anak. Tidak satu pun tanggung jawab itu terwujud. Saya masih belum sanggup membahagiakan orang tua, belum mampu melayani suami dengan baik, dan belum sepenuhnya mendidik anak-anak dengan baik. Jika saja penguasa-penguasa itu mengerti bagaimana kondisi itu tidak harus menemui jalan buntu. Jika saja mereka-mereka mempunyai paham yang sama bahwa keluarga diatas segalanya. Jika saja dan jika saja permohonan pindah saya segera dikabulkan. Kegelisahan itu mungkin akan beralih ke bentuk yang lain. Bentuk yang lebih besar dari hanya sekedar perhatian. Pemenuhan tanggung jawab itu akan terbayar lunas, walaupun saya masih menyisakan waktu diluar rumah untuk bekerja. Kali ini doa saya hanya itu Ya Rohman Ya Rohim. Berharap saat-saat berkumpul dengan keluarga semakin dekat. Amiiin.. Mohon bantuan untuk mengaminkan bagi yang membaca artikel ini.. Terima kasih.
Coba hubungkan benang merah diantara cerita-cerita tadi. Bukankan ada hubungan klausal diantara ketiganya? Sama seperti status saya, sebagai seorang anak, ibu, dan istri. Melihat bagaimana anaknya memperlakukan ibunya, bagaimana suami menghargai istrinya, Bagaimana seorang ibu yang berusaha melindungi anak-anaknya. Bukankah itu semua juga kewajiban saya? Bukankan saya juga mempunyai tanggung jawab yang sama? Berbakti kepada orang tua, melayani suami, dan mendidik anak-anak. Tidak satu pun tanggung jawab itu terwujud. Saya masih belum sanggup membahagiakan orang tua, belum mampu melayani suami dengan baik, dan belum sepenuhnya mendidik anak-anak dengan baik. Jika saja penguasa-penguasa itu mengerti bagaimana kondisi itu tidak harus menemui jalan buntu. Jika saja mereka-mereka mempunyai paham yang sama bahwa keluarga diatas segalanya. Jika saja dan jika saja permohonan pindah saya segera dikabulkan. Kegelisahan itu mungkin akan beralih ke bentuk yang lain. Bentuk yang lebih besar dari hanya sekedar perhatian. Pemenuhan tanggung jawab itu akan terbayar lunas, walaupun saya masih menyisakan waktu diluar rumah untuk bekerja. Kali ini doa saya hanya itu Ya Rohman Ya Rohim. Berharap saat-saat berkumpul dengan keluarga semakin dekat. Amiiin.. Mohon bantuan untuk mengaminkan bagi yang membaca artikel ini.. Terima kasih.