Tuesday, December 12, 2017

Birokrasi itu Tidak Ada Disini

Hai tuliiiir... hari-hari yang sangat membosankan. Membayangkan esok hari aja rasanya sungguh mengesalkan. Bisa dibayangkan bagaimana semuanya harus dilalui dengan penuh tekanan.Rasanya pengen lari dan tak kembali.
Saya membaca sebuah jawaban mahasiswa mengenai birokrasi indonesia. Pertanyaannya, bagaimana birokrasi di Indonesia dan permasalahannya. Banyak anak yang menjawab tentang sebuah birokrasi memiliki permasalahan dalam hal pengambilan kebijakan, prosedur yang tidak jelas, sumber daya manusia yang kurang kompeten, dan masing banyak hal lain yang diungkapkan. Secara teoritis, semua orang faham akan birokrasi pemerintahan. Secara praktek, mereka tidak luwes dan cenderung abai terhadap pemahamannya.
Unsil memiliki segudang masalah birokrasi yang perlu dipecahkan. Bukan hanya di level pimpinan, tetapi juga di level bawahan. Setiap orang belum faham dengan kedudukan, tugas dan fungsinya. Tidak setiap permasalahan diselesaikan melalui level pimpinan, beberapa masalah kecil cukup diselesaikan di level bawah. Sehingga akan membuat organisasi berfungsi dan berkembang dengan leluasa. Bisa dibayangkan, masalah kecil setingkat uang makan saja harus diselesaikan oleh pimpinan setingkat Wakil Dekan atau Dekan. Terus bagaimana kabarnya kepala bagian, kepala subbagian? Sebuah delegasi tugas dan tanggung jawab bisa membuat organisasi kuat. Melalui pemenuhan fungsi setiap bagian, organisasi bisa lebih berkembang dan menjadikan strukturnya lebih kuat.
Pantas saja, sekian lama berdiri Unsil belum sampai kemana-mana. Masih meributkan uang makan, absensi, recehan-recehan lain yang sebenarnya tidak perlu menjadi masalah besar. Bagaimana dengan penekanan tentang penelitian, standar pengajaran, dan bentuk pengabdian kpd masyarakat yang lingkup nya lebih besar? Apa tidak kelimpungan, terjerat pada stigma negatif dan pemikiran sempit sebuah perubahan. Orang yang tidak bisa menerima perubahan sama dengan orang yang menolak berkembang. Menolak bersaing dengan orang-orang yang (kemungkinan) lebih kompeten dibanding dirinya. Paradigma kolot dan lebih bersifat kedaerahan merongrong pemikiran positif yang muncul sehingga memunculkan pikiran dan perilaku negatif.
Entah berapa lama yang dibutuhkan untuk membangun lingkungan positif. Dari sini, saya bisa melihat bahwa orang yang sudah mengalami hidup di kota atau negeri entah berantah cenderung memiliki pemikiran terbuka dan lebih modern ketimbang orang yang berdiam di kotanya. Hal tersebut membuat pemikirannya menjadi konservatif dan kolot. Mengapa demikian? Orang yang pernah merantau, mengalami satu fase culture shock dimana seseorang berjuang mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru dan berusaha keluar dari belenggu kedaerahannya. Tentu saja, situasi tersebut dapat mengalahkan ego, memunculkan mental yang lebih kuat, dan pertahanan diri yang lebih besar. Orang yang tidak kuat menghadapi situasi tersebut akan kembali ke daerahnya dan mentalnya terkurung dalam situasi kedaerahannya.
Semakin lama, bahasannya semakin tidak berujung.
Intinya, kuatkan mental, kokohkan pendirian, dan bangun pemikiran positif yang memunculkan perilaku positif agar lingkungan menjadi positif.
Bye tuliir.. c u tomorrow. Miss me, yes?!

No comments:

Kembali ke Titik 0

Siang ini, saya membaca tulisan seorang guru (anggap saja begitu). Meskipun tidak pernah bertegur sapa dan beliau hanya mengenal saya sekali...